Rabu, 08 Februari 2023

DINAMIKA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA 

Dalam Pasal 1 UUD NRI 1945 disebutkan, "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik." Dari penjelasan tersebut sudah jelaslah bahwa bentuk Negara Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan berupa republik dimana Kepala Negaranya adalah seorang Presiden.

Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang merdeka dan berdaulat dimana keseluruhan negara dikuasai hanya oleh satu pemerintah pusat saja. Pemerintah pusat juga berwenang mengatur seluruh daerah.

Sedangkan, Negara Serikat (Federal) adalah suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari Negara Serikat. Bedanya dengan Negara Kesatuan, pemerintah pusat hanya bertugas mengurusi hal-hal yang mempunyai sifat nasional saja, seperti politik luar negeri, fiskal, pertahanan dan keamanan.

Negara bagian diberikan kewenangan lebih untuk mengurusi masalah dalam negerinya sendiri, seperti hukum, keuangan, politik, dan kebijakan publik.

Pengertian Persatuan dan Kesatuan





Persatuan dan Kesatuan jika dalam bahasa inggris adalah unity and oneness yang berarti :

Unity is being together or at one with someone or something. It's the opposite of being divided. This is a word for togetherness or oneness (Persatuan adalah kebersamaan atau kesatuan dengan seseorang atau sesuatu. Ini kebalikan dari perpecahan. Ini adalah kata untuk kebersamaan atau kesatuan); sementara Kebersaman sendiri berarti Togetherness is a happy feeling of affection and closeness to othe r people, especially your friends and family (kata benda tak terhitung. Kebersamaan merupakan perasaan bahagia atas kasih sayang dan kedekatan dengan orang lain terutama sahabat dan keluarga)

Sementari itu kata Oneness is the fact or state of being unified or whole, though comprised of two or more parts (Persatuan adalah fakta atau keadaan bersatu atau utuh, meskipun terdiri dari dua bagian atau lebih). atau Kesatuan juga bisa diartikan 1. the state or quality of being one; singleness. 2. the state of being united; agreement (1. keadaan atau kualitas menjadi satu; ketunggalan. 2. keadaan bersatu; perjanjian)

Persatuan dan kesatuan adalah konsep yang mengacu pada ikatan batin dan semangat kebersamaan antara individu atau kelompok dalam suatu masyarakat, bangsa, atau negara. Konsep ini menekankan pentingnya kolaborasi, kerja sama, dan solidaritas antar warga negara, terlepas dari perbedaan suku, agama, budaya, ras, dan latar belakang sosial-ekonomi.

Persatuan merujuk pada kesepakatan untuk bersatu dan bekerja bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Hal ini mencakup pengorbanan diri demi kepentingan bersama, mengutamakan kepentingan kolektif daripada kepentingan pribadi, serta menghormati dan mengakui hak-hak dan martabat semua warga negara.

Kesatuan, di sisi lain, menunjukkan integrasi dan keselarasan di antara berbagai elemen masyarakat atau negara. Ini menggambarkan hubungan harmonis dan kohesif antara berbagai kelompok, yang menciptakan kekuatan yang besar dan kemampuan untuk mengatasi tantangan bersama. (sumber : Persatuan dan Kesatuan : Pengertian, Makna, dan Pentingnya Bagi Bangsa Indonesia)

Kritik Terhadap Negara Kesatuan

Setelah Indonesia memasuki masa Reformasi, muncul kembali gagasan untuk kembali menjadi negara federal. Romo Y.B Mangunwijaya dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Serikat mengungkapkan, pada 2045 , Indonesia secara mental siap menjadi negara Federal. Seratus tahun setelah kemerdekaan, Indonesia seharusnya sudah mendewasakan diri sebagai negara. Romo Mangun menganggap bahwa dominasi sentralistik oleh kekuasaan negara dan elite penguasa sudah tidak lagi relevan. Sentralisasi seperti di Serbia Raya akan berpotensi melahirkan gerakan separatis ala Yugoslavia yang justru akan membahayakan negara itu sendiri. Dalam bukunya, Romo Mangun menulis suatu bangsa yang berjumlah 200 – 250 juta mustahil diatur efektif dengan damai oleh suatu sistem sentralistik. Kecuali bila ada diktatorial bertangan besi, dan dibayar dengan darah dan air mata para tumbalnya. 

Menurut Romo Mangun, Bhinneka Tunggal Ika merupakan definisi paling tepat dari negara federal. Karena perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia mesti menjadi negara federal yang mampu mengakomodasi berbagai kebudayaan yang terpancar di wilayahnya.

Jalan Tengah Gus Dur

Menurut Menko Polhukam RI, Prof. Mahfud MD , “Perubahan NKRI ke negara Federal sebenarnya sah-sah saja, kalau rakyat sepakat melalui wakil-wakilnya di DPR/DPD/MPR, mengapa tidak? Tinggal membuat resultante saja."

Bentuk negara Federal sebenarnya bagus, namun Republik Indonesia Serikat tahun 1949 merupakan upaya pecah belah Belanda yang ingin tetap memiliki pengaruh di wilayah Indonesia.

Dalam konteks perdebatan tersebut Gus Dur memberi jalan tengah. Dia tidak bersikeras dengan prinsip “NKRI harga mati” tapi juga tidak mendukung konsep federalis.

Bagi Gus Dur, negara kesatuan punya tujuan baik untuk menjaga keutuhan negara, sedangkan konsep federal bagus karena lebih demokratis. “Kalau saya begini saja, namanya tetap negara kesatuan, tapi isinya pakai negara federal,” kata Gus Dur. “Gitu aja kok repot.”

Usul ini Gus Dur disampaikan sebelum jadi Presiden menggantikan Habibie. Jalan tengah ini kemudian diadopsi oleh pemerintahan B. J. Habibie, kata Mahfud MD, lewat UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam masa pemerintahannya, Gus Dur juga memberikan otonomi khusus kepada masyarakat Papua. Hal ini sebagai wujud kebijakan Gus Dur yang mendukung adanya desentralisasi dalam negara Kesatuan.

Pandangan Gus Dur berhasil meredakan total debat negara kesatuan dengan federal. Gus Dur menjadi pencetus bagaimana negara kesatuan bisa menyerap unsur-unsur federalistik.

Menurut Prof. Mahfud MD, meski peraturan tentang pemerintahan daerah berubah-ubah, “pemerintah daerah tetap menganut negara kesatuan tetapi isinya meniru negara federal.” “Dalam UU tersebut, pemerintah pusat hanya diberi kewenangan menangani urusan-urusan yang biasa dimiliki negara federal, yaitu keuangan, hubungan luar negeri, hankam, dan peradilan (kemudian ditambah dengan urusan agama).” Meski sekarang sudah berlaku UU Nomor 23 tahun 2014, enam poin itu masih bertahan.

 Makna Persatuan Dan Kesatuan

Makna persatuan dan kesatuan Persatuan dan kesatuan berasal dari satu kata yang memiliki arti utuh atau tidak terpecah-belah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persatuan merupakan gabungan dari beberapa bagian yang telah bersatu, perserikatan atau serikat.

Sementara, kesatuan adalah perihal satu, keesaan, satuan dan sifat tunggal. Kesatuan dapat pula diartikan, sebagai hasil dari persatuan yang telah mengakar dengan kuat.

Persatuan dan kesatuan sendiri berarti saling mendukung, saling perhatian, dan saling menghargai meski masyarakat Indonesia memiliki banyak perbedaan.


Perbedaan itu terdiri atas suku, agama, ras, adat istiadat, budaya, hingga bahasa. Kendati begitu, masyarakat yang berbeda-beda ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpecah-pecah dalam nama bangsa Indonesia.

Persatuan dan kesatuan memiliki makna bersatunya Indonesia dengan keberagaman dan perbedaan bahasa, suku, adat istiadat dan agama menjadi bulat, utuh serta serasi.

Dari pengertian kesatuan dan persatuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa persatuan dan kesatuan memiliki makna bersatunya Indonesia dengan keberagaman dan perbedaan bahasa, suku, adat istiadat dan agama menjadi bulat, utuh serta serasi.

Dalam persatuan dan kesatuan terdapat tiga makna penting bagi bangsa Indonesia. Adapun, arti ketiga makna persatuan dan kesatuan yaitu: Selalu menjalin rasa kepercayaan, kebersamaan dan saling melengkapi antar bangsa demi menjaga rasa persatuan dan kesatuan negara. Selalu berupaya untuk dapat saling menghargai satu sama lain antar sesama bangsa yang di mana berlandaskan pada rasa kemanusiaan sehingga dapat mencapai kehidupan yang serasi dan harmonis. Selalu menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan, saling tolong menolong, serta nasionalisme antarbangsa yang di mana dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam persatuan dan kesatuan terdapat tiga makna penting bagi bangsa Indonesia. Adapun, arti ketiga makna persatuan dan kesatuan yaitu: Selalu menjalin rasa kepercayaan, kebersamaan dan saling melengkapi antar bangsa demi menjaga rasa persatuan dan kesatuan negara.

Selalu berupaya untuk dapat saling menghargai satu sama lain antar sesama bangsa yang di mana berlandaskan pada rasa kemanusiaan sehingga dapat mencapai kehidupan yang serasi dan harmonis.

Selalu menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan, saling tolong menolong, serta nasionalisme antarbangsa yang di mana dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

DINAMIKA PERSATUAN DAN KESATUAN DI INDONESIA

Persatuan dan Kesatuan di Indonesia  yang dirajut dari berbagai benang perbedaan sering mengalami dinamika berupa tantangan yang mengancam Indonesia sebagai sebuah KEUTUHAN. salah satunya adalah Gerakan Separatis. Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). 

SEJAK merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia harus menghadapi sejumlah gerakan separatis. Gerakan-gerakan separatis tersebut memakan jumlah korban yang tidak sedikit. Selain itu, gerakan separatis itu menyisakan luka yang mendalam bagi para korban.

1.   1. PKI Madiun

Membahas tentang pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Jatuhnya kabinet Amir disebabkan kegagalannya Perundingan Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pada 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta.

2.   2. Pemberontakan DI/TII

Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer RI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia. Tidak semua komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M. Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII).


3.      3.  PRRI

Munculnya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah. Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin Letkol Ahmad Husein dan Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan. Kemudian Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual. Gerakan sejumlah dewan tersebut kemudian dikenal sebagai pemberontakan PRRI.

4.       4. Pemberontakan Permesta

Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Pada 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas.


5.      5. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

GAM adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari NKRI. Konflik antara pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung hingga pemerintah menerapkan status Darurat Militer di Aceh pada 2003. Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia.

6.       6. Organisasi Papua Merdeka (OPM)

OPM adalah organisasi yang didirikan pada 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya serta untuk memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan ini dilarang di Indonesia dan tidak mendapat dukungan dari dunia internasional yang masih mengakui kedaulatan Indonesia.



Cara menjaga persatuan dan kesatuan 

Berikut ini merupakan beberapa cara untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia:

  • Menjaga sikap toleransi sebagai generasi muda kita patut untuk menjalin dan menjaga persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia yaitu dengan cara bersikap toleransi. 
  • Memiliki sikap rendah hati dan ramah sebagaimana negara yang memiliki keberagaman di masyarakat, maka sikap dan sifat maupun tindakan seseorang harusnya dapat saling menghargai dan menghormati.
  • Menghilangkan sikap dan egoisme sehingga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dapat terjaga. Menjalin hubungan antarsesama teman, baik antar teman sebaya maupun antar pemuda pemudi di lingkungan masyarakat.
  • Meningkatkan kebersamaan dan solidaritas sesama teman sehingga dapat menjaga dan mewujudkan persatuan kesatuan bangsa Indonesia sebagai generasi muda.

Selasa, 07 Februari 2023

PERWAKILAN DIPLOMATIK

1.   



    1. DEFENISI PERWAKILAN DIPLOMATIK

Definisi perwakilan diplomatik adalah perwakilan yang seluruh kegiatannya mewakili negaranya dalam menjalin dan menjalankan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional.

Hubungan diplomatik adalah suatu hubungan yang dijalankan antara negara satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan negaranya masing-masing dalam berbagai bidang yang dibutuhkan oleh negaranya.

Di Indonesia sendiri perwakilan diplomatik merupakan kedutaan Besar Republik Indonesia dan perutusan tetap Republik Indonesia. Orang yang menjadi perwakilan diplomatik disebut sebagai Diplomat, oleh karena itu seorang Diplomat harus memiliki keahlian public speaking yang baik, sehingga bisa mempengaruhi orang lain, serta harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.

Berdasarkan pendapat dari Kepres No. 108 Tahun 2003, perwakilan diplomatik merupakan unsur kedutaan besar Republik Indonesia yang resmi di mata hukum dengan tanggung jawab pada semua kawasan negara penerima amanah dan organisasi internasional yang diwakilinya, dalam upaya kepentingan bangsa dan Negara.

 

2. Kriteria Hubungan Diplomatik

Berikut kriteria yang harus dipenuhi untuk memulai hubungan diplomatik.

1). Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak

Hal ini diuraikan secara tegas dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961, yang menyatakan bahwa pembentukan hubungan diplomatik antara negara dilakukan dengan persetujuan timbal balik. Artinya, permufakatan bersama itu dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan atau pernyataan bersama.

Terselenggaranya hubungan diplomatik tersebut sudah tentu atas prakarsa dan kesepakatan negara-negara yang bersangkutan untuk menjalin persahabatan antara keduanya demi kepentingan masing-masing negara.

2). Melakukan hubungan atas prinsip hukum

Setiap negara melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik didasarkan atas prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu prinsip timbal balik.

Prinsip kesepakatan bersama dan prinsip timbal balik merupakan dua pilar utama untuk menegakkan hukum diplomatik, dari dua aspek tersebut masing-masing pihak akan saling menjaga, melindungi serta mengembangkan hubungan yang telah dibuat oleh kedua negara tersebut.

Prinsip ini berlaku secara universal. Apabila kesepakatan telah terjalin maka kedua belah pihak dapat mengirimkan perwakilan diplomatiknya.

3 hal yang dimiliki perwakilan diplomatik yang tidak dimiliki oleh perwakilan lainnya

Negara yang sudah diakui kedaulatannya mempunyai personalitas hukum sehingga dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan internasionalnya, negara-negara ini diberi beberapa hak sebagai suatu anggota aktif masyarakat internasional yang salah satu hak nya adalah ‘Hak Legasi’ yang mencakup dua aspek yaitu hak legasi aktif yang merupakan hak bagi suatu negara untuk mengirim wakil-wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif yaitu hak bagi negara untuk menerima utusan-utusan dari negara asing.

Dalam buku Hukum Internasional, Sri Setianingsih menyebutkan bahwa Pada Abad 16 dan 17 dalam pergaulan masyarakat, negara sudah dikenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang sekarang dikenal. Praktik dan kebiasaan itu kemudian oleh para pakar hukum, seperti Gentilis, Grotius sampai kepada Bynkershoek dan Vattel telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang lambat laun menjadi norma-norma dalam hukum diplomatik dan konsuler. Bahkan beberapa peraturan di antaranya sudah mulai diundangkan sebagai hukum nasional seperti yang terjadi di Inggris di mana telah ditetapkan undang-undang tentang kekebalan dan keistimewaan melalui Queen Ann tahun 1708.

Telah terdapat sumber-sumber hukum Internasional sesudahnya yang berhasil diterima dan disepakati, dokumen tersebut merupakan sumber hukum internasional dalam Hukum Diplomatik yang tidak hanya diratifikasi dan diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara-negara berdaulat dan beradab lainnya, sumber hukum Internasional dalam hukum Diplomatik adalah sebagai berikut :

·         Vienna Convention on Diplomatic Relations and optional protokol to The Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality 1961 /Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961;

Pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961 diadakan Konferensi PBB di Wina dan berhasil mengesahkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang terdiri dari 53 pasal, yang memuat aturan-aturan penting sebagai sumber hukum dalam penyelenggaraan hubungan diplomatik permanen antar negara. Selain Konvensi ini, pada saat yang sama diadopsi dua Protokol Pilihan (Optional Protocol), pertama Protokol Pilihan mengenai Perolehan Kewarganegaraan (Optional Protocol concerning Acquisition of Nationality) dan kedua, Protokol Pilihan mengenai Keharusan untuk Menyelesaikan Sengketa (Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes). Konvensi Wina 1961 dan kedua protokolnya dinyatakan sudah berlaku sejak tanggal 24 April 1964. Dengan berlakunya Konvensi Wina 1961, maka Konvensi ini akan menjadi sumber hukum untuk pengiriman, penerimaan misi diplomatik; prinsip-prinsip yang berlaku seperti prinsip normal and reasonable’ dalam pembentukan perwakilan diplomatik; kekebalan dan keistimewaan misi diplomatik; kekebalan dan keistimewaan yang dijamin Konvensi kepada para diplomat dan staf lainnya, serta kepada anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang bekerja pada mereka; apa kewajiban pada diplomat saat menjalankan tugas di negara penerima, bagaimana pengaturan tentang konsep `inviolability (tidak diganggu-gugatnya perwakilan asing), kapan ketentuan tentang persona grata dan persona non grata dapat diberlakukan serta apa saja fungsi misi diplomatik.

·         Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to The Vienna Convention on Cansular Relations Concerning Acquisition of Nationality 1963 / Konvensi Wina tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler;

Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler terdiri dari 73 pasal yang memuat acuan tentang cara pembukaan hubungan konsuler termasuk tugas konsul; ketentuan pemberian kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada perwakilan konsuler; ketentuan-ketentuan tentang konsul kehormatan dan hak kekebalan dan keistimewaannya; ketentuan-ketentuan umum tentang pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik dan ketentuan penutup.

·         Convention on Special Mission New York 1969 / Konvensi PBB mengenai Misi Khusus / Konvensi New York 1969.

Konvensi ini juga disebut Konvensi New York 1963 mengenai Misi Khusus. Sesuai dengan mukadimahnya, Konvensi mengenai Misi Khusus merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963 dan dimaksudkan untuk memberi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara, apapun sistem perundang-undangan maupun sistem sosialnya. Konvensi New York 1969 dan Protokol Pilihannya mengenai Kewajiban untuk Menyelesaikan Sengketa sudah berlaku sejak 21 Juni 1985.

Lebih lanjut Sri Setianingsih menyebutkan Sumber Hukum dalam hubungan terkait hak legasi selain ketiga konvensi diatas adalah :

·         Convention on the Privileges and immunities of the United Nations 1946;

·         Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies 1947;

  • Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including diplomatic agents.

 

Berkaitan dengan tugas Perwakilan Diplomatik sebagai perwakilan negara berdaulat maka mengutip Sri Setianingsih dalam bukunya tugas perwakilan diplomatik adalah menjadi bentuk konkrit personifikasi dari Negara, rakyat, bangsa dan kepala negaranya. Fungsi para diplomat adalah untuk mewakili negaranya dan sebagai saluran komunikasi resmi antara negara-negara pengirim dengan negara-negara penerima. Tugas suatu perwakilan diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 mencakup:

2.3. KORPS PERWAKILAN DIPLOMATIK

Mengacu pada keputusan Kongres di Wina pada tahun 1961, disetujui adanya 3 tingkatan Kepala Perwakilan Diplomatik, berikut urutannya:

1. Duta Besar (Ambassador)

Ambassador atau Duta Besar Ambassador disebut juga sebagai Duta Besar adalah perangkat diplomatik paling tinggi di Indonesia. Duta Besar adalah perwakilan tetap Republik Indonesia ke luar negeri. B. Sen dalam bukuA Diplomat Handbooks’s of International Law and Practice (1965) menyebutkan bahwa Duta Besar adalah perwakilan negara yang diusulkan oleh menteri dan pejabat negara lainnya sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Minister Plenipotentiary and Envoy Extraordinary Minister Plenipotentiary and Envoy Extraordinary atau menteri berkuasa penuh dan duta luar biasa adalah perwakilan negara di bawah ambassador yang bersifat sementara. Mereka memiliki hak keistimewaan diplomatik serta kekebalan hukum yang lebih sedikit dari ambassador.

2. Duta Berkuasa Penuh (Minister Plenipotentiary)

Minister Plenipotentiary and Envoy Extraordinary

Minister Plenipotentiary and Envoy Extraordinary atau menteri berkuasa penuh dan duta luar biasa adalah perwakilan negara di bawah ambassador yang bersifat sementara. Mereka memiliki hak keistimewaan diplomatik serta kekebalan hukum yang lebih sedikit dari ambassador.

Minister Resident

Minister resident atau menteri residen adalah adalah menteri yang mengatur urusan negara di luar negeri. Mereka mengurus urusan negara Indonesia di negara lain namun tidak diperbolehkan mengadakan pertemuan resmi yang mengurus hubungan antarnegara. Sehingga minister resident dihapuskan dari perangkat perwakilan diplomatik.

 

3. Kuasa Usaha (Charge d’affaires

Charge d' Affaires atau kuasa usaha tetap adalah pejabat dinas luar negeri yang diangkat oleh menteri luar negeri. kuasa udaha tetap berhubungan langsung dengan menteri luar negeri negara penerima untuk memimpin perwakilan diplomatik.

4. Atase-Atase

Atase-atase adalah pejabat pembantu yaitu perwakilan diplomatik yang membantu Duta Besar. Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia no.108 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri pasal 1 ayat 11 dan 12 atase-atase terdiri atas dua yaitu atase pertahanan dan atase teknis.

Atase pertahanan adalah perwira Tentara Nasional Indonesia yang ditempatkan untuk melaksanakan tugas pertahanan. Adapun atase tekis adalah pegawai negeri sipil yang ditempatkan untuk melaksanakan tugas di bidang wewenang departemen atau lembaga pemerintahan non departemen.



4.  Tugas Perwakilan Diplomatik

Suatu negara pasti memiliki perwakilan diplomatik untuk dikirimkan dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Perwakilan diplomatik biasanya disebut diplomat.

Tugas perwakilan diplomatik, baik itu seorang duta besar ataupun pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan bertindak sebagai suara dari pemerintahannya.

Selain sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima dengan negara pengirim, mereka juga bertugas untuk melaporkan mengenai keadaan dan perkembangan di negara mana mereka ditugaskan.

Hal itu termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga negaranya di negara penerima, sedangkan fungsi perwakilan diplomatik sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 meliputi beberapa tugas, yaitu:

  1. ·         Mewakili negaranya di negara penerima.
  2. ·         Melindungi kepentingan negara dan warga negaranya di negara penerima.
  3. ·         Melakukan negosiasi dengan negara penerima.
  4. ·         Melaporkan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima.
  5. ·         Meningkatkan hubungan persahabatan dan pengembangan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.

Suatu perwakilan diplomatik dari negara pengirim membutuhkan suatu jaminan agar misi diplomatiknya yang sedang dilaksanakan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan harapan dari negara pengirim.

Oleh karena itu, suatu misi diplomatik atau fungsi konsuler diberikan hak-hak khusus. Dikutip dari Hubungan Diplomatik Teori dan Kasus oleh Sumaryo Suryokusumo, hak-hak tersebut adalah hak kekebalan dan hak keistimewaan.

Prinsip untuk pemberian hak kekebalan dan hak keistimewaan yang khusus semacam itu telah dilakukan oleh negara atas dasar timbal balik.

Hal itu dipergunakan untuk menjamin agar perwakilan diplomatik atau fungsi konsuler di suatu negara dapat menjalankan tugas misinya secara bebas dan aman.

 

5.    Fungsi Perwakilan Diplomatik

Setelah mengetahui definisi dari perwakilan diplomatik, kita akan sama-sama membahas tentang fungsi dari perwakilan diplomatik. Berikut ini adalah beberapa fungsi perwakilan diplomatik.

  1. Menjaga seluruh kepentingan negara pengirim perwakilan diplomatik dan warga negaranya di negara penerima, dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional.
  2. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima.
  3. Memberikan keterangan tentang kondisi serta perkembangan negara penerima dengan cara yang diizinkan oleh Undang-Undang, kemudian melaporkan kepada pemerintah negara pengirim.
  4. Menjaga hubungan persahabatan antara kedua negara (negara pengirim dan negara penerima) dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan serta ilmu pengetahuan.

 

6.    Tugas Perwakilan Diplomatik

Seperti tadi yang sudah dijelaskan sebelumnya, perwakilan diplomatik di Negara Republik Indonesia berbentuk Kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) yang ditempatkan pada suatu negara tertentu. Perwakilan diplomatik memiliki beberapa tugas pokok, diantaranya sebagai berikut: 

  1. Menyelenggarakan hubungan dengan negara lain atau hubungan kepala negara dengan pemerintah asing (membawa suara resmi dari negara asalnya)
  2. Mengadakan perundingan masalah-masalah yang dihadapi oleh kedua negara (negara pengirim dan negara penerima) dan berusaha untuk menyelesaikannya
  3. Mengurus kepentingan negara serta warga negaranya di negara lain
  4. Apabila dirasa perlu, perwakilan diplomatik dapat bertindak sebagai tempat pencatatan sipil, pemberian pospos dan sebagainya.

 

Berkaitan dengan tugas Perwakilan Diplomatik sebagai perwakilan negara berdaulat maka mengutip Sri Setianingsih dalam bukunya tugas perwakilan diplomatik adalah menjadi bentuk konkrit personifikasi dari Negara, rakyat, bangsa dan kepala negaranya. Fungsi para diplomat adalah untuk mewakili negaranya dan sebagai saluran komunikasi resmi antara negara-negara pengirim dengan negara-negara penerima. Tugas suatu perwakilan diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 mencakup:

·        1. Mewakili negaranya di negara penerima.

Dalam kaitannya pada tugas pertama ini bertolak dari Konvensi Wina 1961 yang mengatur  bahwa perwakilan diplomatik berfungsi mewakili negara pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran untuk melakukan hubungan resmi antara kedua negara. Para wakil negara tersebut adalah wakil resmi dari pemerintahnya. Dengan surat kepercayaan (credential) yang telah diserahkan kepada kepala negara dari negara penerima pada saat kedatangannya di negara penerima, menunjukkan secara jelas posisinya atas nama kepala negaranya (negara pengirim) kepada kepala negara dari negara penerima.

Secara fundamental Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan Internasional menyebutkan hakikat diplomasi adalah kegiatan berkomunikasi di antara para diplomat profesional yang mewakili negaranya masing-masing, di mana pada umumnya kegiatan itu dilakukan untuk memperjuangkan kepen-tingan nasional negaranya masing-masing. Diplomasi dapat pula mem-bahas isu-isu penciptaan perdamaian (peace-making), perdagangan, perang, ekonomi, budaya, lingkungan, dan HAM. Perjanjian-perjanjian internasional biasanya juga dinegosiasikan oleh para diplomat sebelum disahkan dalam forum lebih tinggi (misalnya KTT atau pertemuan tingkat menteri). Dalam arti informal dan sosial, diplomasi adalah pekerjaan yang penuh kebijaksanaan untuk mendapatkan keuntungan strategis atau menemukan solusi yang dapat diterima secara timbal balik atas suatu tantangan bersama, dengan menggunakan seperangkat ungkapan pernyataan yang sopan dan tidak konfrontatif.

·         2Perlindungan kepentingan negara pengirim di negara penerima dan kepentingan warga negaranya, dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional.

Tugas untuk perlindungan kepentingan-kepentingan negara pengirim, baik kepentingan politik, kepentingan yang terkait perdagangan, di negara penerima, dipercayakan kepada misi diplomatik. Kepentingan suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara lain sangat bervariasi, dapat mengenai masalah teritorial, penerbangan, bea masuk, pertahanan, investasi dan fasilitas-fasilitas untuk warga negaranya. Untuk itu, wakil diplomatik harus melakukan langkah-langkah yang mungkin untuk melihat adanya manfaat-manfaat di negara penerima yang dapat diperoleh oleh negaranya. Selain itu juga bagaimana negaranya dapat memperoleh kepercayaan dari negara penerima, atau produk-produk dari negaranya diperbolehkan masuk ke negara penerima, atau warga negaranya mendapat izin bertempat tinggal,menjalankan perdagangan, menanam uangnya di negara penerima.

Secara fundamental Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan Internasional menyebutkan dalam kegiatan rutin hukum internasional dalam saling ketergantungan ekonomi, sosial, dan teknis, serta berbagai institusi internasional fungsional yang mengatur itu semua. Semua itu mensyaratkan adanya kesadaran sosial internasional, sebiah sentimen komunitas di seluruh dunia, persepektif dari Martin Wight dalam hal ini menekankan pentingnya peranan hukum internasional dalam ‘masyarakat internasional’ tak ubahnya seperti masyarakat lain yang memiliki sistem aturan yang menetapkan hak dan kewajiban bagi anggota-anggotanya, sehingga pengaturan hukum internasional dalam hubungan antar negara tidak lepas dari pengaturan atas aktifitas yang dimaksud untuk perlindungan kepentingan negara pengirim di negara penerima dan kepentingan warga negaranya, dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional

·         3. Melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima.

Mr. Lansing Sekretaris Negara dari Pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa kepentingan antar negara dewasa ini melalui perwakilan diplomatik lebih banyak berkaitan dengan perdagangan, finansial, dan masalah industrial. B. Sen menyatakan bahwa fungsi misi diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi kepentingan-kepentingan negaranya dan warga negaranya, melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima, melaporkan semua masalah yang penting kepada negaranya dan meningkatkan hubungan bersahabat di antara kedua negara. Misi diplomatik juga harus berusaha mengembangkan kerja sama yang bermanfaat bagi negaranya (negara pengirim) di bidang perdagangan, keuangan, ekonomi, perburuhan, penelitian ilmiah dan pertahanan, sesuai perintah yang diterima dari negaranya (negara pengirim). Dalam melaksanakan semua fungsi diplomatik tersebut, Kepala Perwakilan diplomatik akan dibantu oleh anggota staf diplomatik dan para atase, misalnya atase perdagangan, perburuhan, pertahanan.

Dalam melaksanakan fungsi negosiasi, misalnya saat pemerintah negaranya berkehendak untuk membuat perjanjian dengan pemerintah negara penerima, apakah perjanjian persahabatan, perdagangan, mutual assistance, ekstradisi, sering kali diawali dengan negosiasi-negosiasi, yaitu mengadakan preliminary sounding dan exploratory talks, yang dilakukan oleh para diplomat. Sementara negosiasi yang nyata mengenai materi perjanjiannya akan dipercayakan kepada suatu misi khusus, terutama apabila menyangkut masalah-masalah bersifat teknis, misalnya perjanjian di bidang standarisasi makanan dan minuman, maka tim kerjanya adalah dari departemen teknis. Dalam kasus di mana pemerintah suatu negara tidak menghormati kekebalan dan keistimewaan warga negaranya di negara penerima, juga jika warga negaranya di negara penerima diperlakukan semena-mena, semua adalah tugas perwakilan diplomatik untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah negara penerima.

Dr. Umar Suryadi Bakry dalam bukunya Dasar-Dasar Hubungan Internasional menyebutkan negosiasi berkaitan dengan komunikasi dengan pihak lain. Dalam konteks hubungan internasional, Oxford Dictionary memberi arti diplomasi sebagai manajemen hubungan internasional dengan cara negosiasi. Diplomasi dapat pula diartikan sebagai profesi, aktivitas, atau keterampilan mengelola hubungan inter-nasional, biasanya melalui perwakilan suatu negara di luar negeri. Ernest Satow mendefinisikan diplomasi sebagai penerapan dari kecerdas-an dan kebijaksanaan untuk melaksanakan hubungan-hubungan resmi antarpemerintah dari negara-negara berdaulat.

·         4. Memperoleh semua kepastian dengan cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim.

Pelaksanaan tugas ini berkaitan dengan tugas perlindungan terhadap warga negaranya masing-masing secara meluas, pada umumnya menyangkut masalah imigrasi, perdagangan, tempat tinggal, pariwisata, perlindungan terhadap warga negaranya yang menderita kekerasan atas badan, jiwa dan hartanya di negara penerima. Dalam upaya memberi perlindungan terhadap warga negaranya dan menjamin warga negaranya dapat masuk di negara lain diperlukan langkah-langkah untuk menjamin kepastian dengan cara yang sah, kadang kala negara-negara membuat suatu perjanjian persahabatan atau perjanjian lain yang dapat menjamin hak warga negaranya untuk masuk di negara penerima. Sebagai contoh, banyak warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai TKI di Malaysia, maka jika para TKI tersebut menghadapi masalah maka adalah tugas perwakilan diplomatik RI di Malaysia untuk memberikan bantuan. Contoh lain, warga negara warga negara dari negara-negara yang tergabung dalam Persemakmuran Inggris, sampai sekarang, diperbolehkan masuk dan bertempat tinggal di Inggris untuk waktu yang tidak dibatasi. Selain itu, perwakilan diplomatik juga dapat menjalankan fungsi-fungsi konsuler, misalnya dalam pembuatan akta-akta notaris. Tugas notariatan ini mencakup pencatatan kelahiran, kematian dan perkawinan, menyelenggarakan pencatatan kewarganegaraan, otentikasi surat-surat penting, legalisasi dokumen-dokumen penting yang akan dipergunakan untuk urusan litigasi di negara lain harus disahkan oleh kantor perwakilan negaranya, mengeluarkan paspor dan visa.

Berkaitan dengan pelaporan perkembangan negara penerima untuk dilaporkan kepada pemerintahnya, tugas ini harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan sah yang bila dilanggar dan dilakukan dengan cara bertentangan dengan hukum maka bisa dikenakan deklarasi persona non grata.

Persona Non Grata berkaitan dengan diterima atau tidaknya perwakilan dari negara pengirim oleh negara penerima. Negara penerima mempunyai hak untuk menolak menerima seorang wakil diplomatik dari negara pengirim dan menyatakan persona non grata, bahkan setelah kedatangannya di Negara penerima. Di lain pihak, seperti diatur dalam Pasal 4 (1) Konvensi Wina 1961, bahwa negara pengirim harus memperoleh kepastian bahwa calon duta besar yang diusulkan negara pengirim harus telah memperoleh agrement atau agreation dari negara penerima. Jika calon duta besar dari negara pengirim tersebut telah memperoleh agrbnent dari negara penerima, hal itu dinyatakan sebagai persona grata.

Lebih lanjut Syahmin AK menyebutkan bahwa prakteknya setiap diplomat harus mengikuti situasi dan kondisi dalam negeri negara penerima, dengan memperhatikan berbagai berita, dan meneliti kebenaran berita itu melalui pembicaraan dengan para pejabat pemerintah. Laporan hasil penemuannya itu dikirimkan kepada pemerintah negara pengirim melalui fasilitas yang diizinkan oleh negara penerima. Lazimnya melalui diplomatic bag atau kantong diplomatik. Boleh juga menggunakan jasa kurir diplomatik dan pemberitaan dalam sandi (kode). Hanya pemasangan dari penggunaan alat komunikasi radio atau wireless transmitter saja memerlukan izin khusus dari negara penerima. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan cara yang sah di sini dalam rangka melaporkan hasil pengamatan dan pembicaraan dengan para pejabat mengenai situasi dan kondisi yang penting melalui fasilitas yang diizinkan oleh negara penerima.

·         5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.

Pada tingkat universal, kerja sama antarnegara di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, keamanan serta bidang-bidang lainnya sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kemajuan bagi masing-masing Negara. Hubungan kerja sama antar negara tersebut juga dilakukan seiring dengan prinsip-prinsip dan tujuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa baik mengenai persamaan kedaulatan negara-negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional (Pasal 1 dan 2 Piagam PBB). Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1 ayat (3) menyatakan antara lain bahwa motivasi untuk melakukan hubungan antar negara dapat dilakukan dengan membina kerja sama antarnegara, yang meliputi berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keamanan.

Tugas untuk meningkatkan hubungan persahabatan ini merupakkan hal prinsipal dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah disebutkan diatas dan menjadi prinsip-prinsip dasar yang perlu di sublimasi dalam motivasi negara-negara yang melakukan hubungan berkaitan dengan hak legasi berkaitan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan keamanan, motivasi itu juga harus sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB, untuk membina kerja sama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan dan dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar bagi umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.

Lebih lanjut Syahmin AK menyebutkan berkaitan dengan fungsi ke-5 ini, yaitu sebagai hal yang  penting juga diperhatikan terutama dipandang dari segi politik internasional, karena menyangkut cita-cita pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hubungan ini, kegiatan Spionase, Pencurian dokumen negara, dan mencampuri urusan dalam negeri negara lain adalah melanggar hukum internasional. Di samping itu, jelas merupakan tindak pidana dalam suasana hukum nasional. Kembali kepada pengertian kekebalan diplomatik, masih terdapat satu pengertian klasik dalam teori hukum international Publik yang berasal dari satu putusan pengadilan Inggeris, yaitu perkara Dickinson vs Del Solar 1931. Dalam perkara ini Robert Edmud Dickinson, yang bertindak sebagai penggugat untuk meminta ganti kerugian kepada tergugat Emilio Del Solar –Sekretaris I Kedutaan Besar Peru untuk London–, sehubungan dengan luka yang dideritanya disebabkan oleh kelalaian mengendarai mobil yang harus dipertanggung-jawabkan Del Solar. Alasannya ialah Del Solar dianggap tunduk pada yurisdiksi pengadilan Inggris, karena ada nota resmi dari Duta Besar Peru di London. bahwa dalam kasus ini Del Solar melepaskan (waiver) kekebalan dari keistimewaan diplomatiknya. Meskipun perkara ini bersifat perdata, namun terdapat satu pernyataan dalam keputusan pengadilan London yang dalam penafsirannya tentang kekebalan diplomatik, ternyata berpengaruh pada doktrin internasional. Pernyataan pengadilan itu berbunyi: “kelonggaran diplamatik tidak memberikan kekebalan terhadap tanggungjawab hukum, melainkan hanya memberikan pembebasan dari yurisdiksi pengadilan setempat’ . Dalam hubungan ini, diketahui ada salah seorang pakar hukum internasional Inggeris yang mendukung pernyataan pengadilan Inggeris di atas, yaitu Max Sorenson, dengan mengatakan: „… diplomats are not above the law in force in the receiving State ” (” para diplomat tidaklah berdiri di atas hukum yang berlaku di negara penerima …. “).

Dengan demikian berdasarkan pendapat yang berdasarkan sumber hukum Internasional diatas kami simpulkan bahwa diplomat tetap memiliki kewajiban untuk menghormati hukum setempat (negara penerima), terlepas dari adanya kekebalan dan keistimewaan dari tugas perwakilan diplomat yang tidak dimiliki perwakilan lainnya. Dengan strategisnya tugas dari perwakilan diplomatik sebagaimana disebutkan diatas yang bahkan dapat melaksanakan tugas dari perwakilan lainnya dalam kondisi tertentu, maka terdapat keistimewaan dari tugas Perwakilan Diplomatik yang tidak dimiliki perwakilan lainnya, adapun mengutip pernyataan dalam usaha memahami dan menelaah tentang status diplomatik sebagaimana dikemukakan oleh Syahmin AK, yang berbunyi sebagai berikut :

Menelaah tentang status diplomatik, pertama-tama yang segera muncul adalah persoalan kekebalan diplomatik. Akan tetapi, hendaknya jangan dulu pengertian ini dianggap sebagai privileges yang bersifat absolut dalam arti melekat mutlak pada pribadi sang diplomat, hanya karena ia mempunyai status diplomatik yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Yang tepat adalah kekebalan diplomatik itu mempunyai sifat fungsional. Artinya, setiap diplomat menikmati kekebalan demi kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik negaranya secara efisien di negara penerima. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa maksud dan tujuan pemberian -kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik secara efisien.

7.      HAK IMUNITAS DIPLOMATIK

Perkembangan hukum Internasional selalu menghasilkan kebutuhan-kebutuhan baru yang berdampak pada perkembangan hukum internsional. Ini juga memberikan tuntutan kepada kehidupan bernegara untuk bisa membangun relasi demi terjalinya kerjasama untuk bisa saling melengkapi kebutuhan setiap negara (Hata, 2012: 3). Perkembangan ini kemudian berpengaruh terhadap perkembangan hukum internasional (Thontowi dan Iskandar, 2006: 2). Salah satu instrumen hukum yang dihasilkan adalah hukum diplomatik, dengan pengaturan lebih lanjut terdapat di dalam Konvensi Wina 1961. Konvensi Wina sebagai sumber hukum diplomatik telah memberikan ispirasi bagi seluruh negara-negara di dunia dalam melaksanakan hubungan diplomatik mereka.

Diplomasi diartikan sebagai : The conduct by government officials of negotiations and other relations between nations; the art of science of counducting such negotiations; skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no ill-will act. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan oleh perjabat pemerintah tentang perundingan dan hubugan lain antar negara, ilmu pengetahuan tentang negosiasi, keterampilan mengelola negosiasi, penanganan individu sehingga tidak ada tindakan buruk yang dilakukan, semua itu dapat diartikan sebagai diplomasi. Perwakilan diplomatik sangat dibutuhkan sebagai perwakilan negara dengan tugas dan fungsi untuk melakukan kerjasama antar negara dalam menjaga perdamaian dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial.

Fungsi perwakilan diplomatik terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tentang Perwakilan Diplomatik, fungsi tersebut adalah merepresentasikan negara pengirim, melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya, melakukan negosiasi, membuat laporan keadaan dan perkengangan negara penerima serta meningkatkan hubungan kedua negara dalam bidang ekonomi, kultur dan sains. Perwakilan diplomatik tentunya memiliki kekebalan-kekebalan yang diatur diatur dalam Konvensi Winal 1961 pada Pasal 29 secara jelas mengatur tentang kekebalan pribadi yang dimiliki oleh seorang diplomat, yang meyebutkan : “Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu-gugat; Pejabat diplomatik tidak boleh ditangkap dan ditahan; Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan mengambil langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabat seorang diplomat”. Tidak hanya seorang diplomat atau konteks berbicara tentang individu tetapi juga tempat ataupun kantor seorang diplomat (Syafiza K., dkk, 2014: 45).

Jika dilihat berdasarkan teori yang berkembang terdapat 3 macam teori yang menjadi landasan pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi seorang diplomat (Lasut W, 2016: 71). Teori tersebut diantaranya : Pertama, Exterritoriality Theory yang menjelaskan bahwa seorang pejabat diplomat dianggap tidak berada di negara penerima melainkan berada di dalam negara pengirim, meskipun kenyataanya dia berada di wilayah negara penerima. Kedua, Representative Character Theory. “Par im parem non habet imperium” artinya, negara yang berdaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi terhadap negara berdaulat lainya. Oleh karena itu, pejabat diplomatiknya harus diberi hak kekebalan dan hak keistimewaan. Ketiga, Functional Necessity Theory, teori ini memberikan suatu dasar dan secara tersirat diatur di dalam Konvensi Wina 1961, seperti yang tertera dalam pembukaan atau preambulnya pada alinea ketiga yang berbunyi: “The purpose of such previleges and immunities is not benefit individuals but not to ensure the efficient performance of the functions of diplomatik missions as representing state” (Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, 2008: 72-78). Teori ini memberikan suatu ketentuan bahwa seorang diplomat dalam melaksanakan tugasnya harus dilaksanakan tanpa gangguan, sehingga tugas yang dijalankan dapat dikerjakan secara efektif dan efisien.

Mengenai kekebalan diplomatik ini, penulis menjabarkan sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 sampai Pasal 33 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Kekebalan tersebut antara lain : Kekebalan pribadi pejabat diplomatik, kekebalan keluarga pejabat diplomatik, kekebalan yurisdiksi, kekebalan dari kewajiban menjadi saksi di pengadilan, kekebalan gedung perwakilan diplomatik dan tempat kediaman wakil diplomatik. Kemudian mengenai hak istimewa yang di berikan kepada perwakilan diplomatik sebagai berikut : Bidang pajak dan iuran, pembebasan dari bea cukai dan bagasi, pembebasan dari kewajiban keamanan sosial, pembebasan dari pelayanan pribadi, pembebasan dari kewarganegaraan. Hak kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada perwakilan diplomatik sebagaimana diatur di dalam ketentuan Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, ini juga terdapat di dalam perwakilan negara, tidak terkecuali perwakilan diplomatik Korea Utara. 

(baca : https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150310111140-113-37968/selundupkan-emas-diplomat-korut-diusir)

Contoh terhadap kasus yang dilakukan oleh perwakilan diplomatik Korea Utara yang telah menyalahgunakan hak kekebalan yang diberikan, dikarenakan telah menyeludupkan emas sebesar 27 kg (global Liputan6.com). Jika kita melihat terhadap kasus tersebut, maka terhadap hak kekebalan yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik Korea Utara dalam kasus ini, adalah dengan adanya keterkaitan dengan pemeriksaan kantong diplomatik Korea Utara, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 27 ayat (3) Konvensi Wina yang menyatakan “the diplomatic bag shall not be opened or detained”. Oleh karena itu perwakilan diplomatik Korea Utara berhak untuk menolak saat barang bawaannya akan diperiksa oleh petugas di Bandara Bangladesh. Perwakilan diplomatik Korea Utara memiliki kekebalan yurisdiksional sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina yang menyatakan bahwa suatu agen diplomatik kebal dari yurisdiksi kriminal negara penerima.

Agen tersebut kebal dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam hal : Pertama, suatu perkara yang berhubungan dengan barang-barang tetap yang terletak di dalam wilayah negara penerima, tanpa ia memegangnya itu untuk pihak negara pengirim untuk tujuan-tujuan missi. Kedua, suatu perkara yang berhungan dengan suksesi dimana agen diplomatik termasuk sebagai eksekutor, administrasi, ahli waris atau legete sebagai orang privat dan tidak untuk pihak negara pengirim. Ketiga, suatu perkara yang berhubungan dengan setiap kegiatan prefesional atau dagang yang dijalankan oleh perwakilan diplomatik di dalam negara pemerima dan di luar fungsi resminya (Konvensi Wina Tahun 1961 Pasal 31 ayat 1). Dengan adanya pengecualian tersebut, maka perwakilan diplomatik dari Korea Utara yang melakukan tindakan penyeludupan emas, yang mana tindakan tersebut masuk kedalam pengecualian diatas.

Tindakan kriminal yang dilakukan oleh agen tersebut dengan upaya penyeludupan emas, yang mana tindakan tersebut masuk kedalam pengecualian diatas. Sehingga walaupun telah melakukan suatu tindakan kriminal, agen tersebut akan tetap kebal dari tuntutan kriminal negara Bangladesh karena tuntutan kriminal hanya dapat dilakukan terkait tindakan yang disebutkan dalam tiga pengecualian diatas. Dengan ketentuan diatas, walaupun agen tersebut tidak dapat dituntut dan diadili oleh negara Bangladesh karena ia kebal dari segala yurisdiksi negara penerima, tidak menutup kemungkinan bahwa ia bisa dituntut dan diadili oleh Korea Utara yang merupakan negara pengirimnya.

Hak kekebalan dan hak istimewa yang diberikan kepada perwakilan diplomatik telah dijamin di dalam Kovensi Wina 1961. Hak kekebalan tersebut berupa, kekebalan pribadi pejabat diplomatik, kekebalan keluarga pejabat diplomatik termasuk anggota staf diplomatik dan pelayan, kekebalan yurisdiksi kriminal dan civil, kekebalan dari kewajiban menjadi saksi di pengadilan, kekebalan gedung perwakilan diplomatik dan tempat kediaman wakil diplomatik serta pembebasan pajak. Serta hak keistimewaan dari perwakilan diplomatik antara lain keistimewaan perwakilan diplomatik dalam bidang pajak dan iuran, pmbebasan dari bea cukai dan bagasi, pembebasan dari kewajiban keamanan sosial, pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer, dan pembebasan dari kewarganegaraan.

Hubungan diplomatik yang laksanakan akan memberikan suatu hak khusus seperti hak kekebalan dan hak keistimewaan dengan tujuan pemberian hak tersebut agar terjaminnya misi diplomatik dalam melaksanakan tugas di negara penerima dan dapat berjalan dengan lancar, sesuai dengan harapan negara pengirim. Sebagai perwakilan diplomatik harus berhati-hati dalam mengambil tindakan dalam melaksanakan fungsinya dan memperhatikan tindakan agar tidak bertentangan dengan hukum negara penerima. Serta menjaga nama baik negara yang diwakilinya dalam melaksanakan fungsinya untuk mencapai tujuan negaranya di negara penerima.

 

Untuk menjelaskan secara distintif masing-masing Perwakilan dengan Diplomat, maka perlu dipaparkan secara singkat masing-masing Sumber Hukum Internasional dapat ditarik poin-pon penting sebagaimana telah disusun oleh Prof DR. S.M Noor, S.H.,M.H dkk sebagai berikut :

·         Berdasarkan aturan-aturan dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Protokol Tambahan dari Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik mengenai hal memperoleh kewarganegaran, maka dapat ditarik poin-poin penting yakni hubungan diplomatik dilakukan oleh perwakilan diplomatik yang dipimpin oleh Duta Besar (Ambassador). Ambassador mewakili negara dalam mengurusi kepentingan publik dalam Konvensi Wina yang dihadiri kepala negara dari negara-negara Eropa sehingga dicapai persetujuan mengenai perwakilan diplomatik. Berdasarkan Pasal 14 Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik diatur 3 tingkatan bagi seorang Kepala perwakilan diplomatik, 3 tingkatan dimaksud adalah sebagai berikut (1) Duta Besar yang ditempatkan pada Kepala negara dan Kepala Misi yang tingkatannya sama; (2) Envoys Ministers dan internuncois yang ditempatkan pada kepala Negara; dan (3) Kuasa Usaha yang ditempatkan pada Menteri Luar Negeri (Saat ini setiap negara yang merdeka dan berdaulat hampir selalu menempatkan perwakilan diplomatiknya disetiap negara).

·         Pengaturan Hubungan Konsuler dan Perwakilan Konsuler yang dalam sejarah berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan internasional baru dikodifikasikan pada tahun 1963 dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Diadakannya Konvensi ini yang terdiri dari 79 pasal yang keseluruhannya mengenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya akan meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya. Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan hanyalah guna mnjamin pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien Konvensi mengatur antara lain hubungan-hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas, hak-hak istimewa dan kekebalan kantor perwakilan konsuler, pejabat konsuler dan anggota perwakilan konsuler lainnya serta tentang pejabat-pejabat konsul kehormatan dan konsulat-konsulat kehormatan. Baik Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik maupun Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler masing-masing dilengkapi dengan Protokol Opsional mengenai hal Memperoleh Kewarganegaraan.

·         Misi khusus dalam hukum internasional ini didasarkan pada atau memiliki pijakan hukum pada Konvensi New York 1969 yang secara khusus membahas mengenai special mission atau misi khusus. Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) pengaturannya dikenal dengan The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut Pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.

·         Berdasarkan isi naskah Konvensi Wina Tahun 1973 tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara Internasional, Termasuk Agen Diplomatik tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa betapa pentingnya perlindungan terhadap orang-orang tertentu yang dilindungi oleh hukum internasional. Dalam mukadimah konvensi ini, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah Penghukuman atas kejahatan terhadap orang-orang yang harus dilindungi menurut hukum internasional.

·         Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal telah diselenggarakan di wina, Austria sejak 4 febuari-14 maret 1975 yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antarpemerintah, dan 7 wakil dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan oleh organisasi persatuan afrika atau liga arab. Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14 maret 1975 ssampai 30 april 1975 di kementrian luar negeri Austria, kemudian diperpanjang s.d. 30 maret 1976 di PBB new york. Dalam Konvensi Wina ini, yang dimaksud dengan Organisasi Internasional yang bersifat universal adalah Organisasi Internasional PBB, badan-badan khusus yang berada di bawah PBB dan organisasi lainnya yang keanggotaannya dan tingkat pertanggungjawabannya bersakala internasional. Ruang lingkup yang diatur dalam konvensi ini berdasarkan Pasal 2 adalah meliputi perwakilan suatu negara dalam hubungannya dengan setiap organisasi internasional yang bersifat universal dan keberadaan perwakilannya dalam menghadiri konferensi-konferensi yang diatur atau berada di bawah perlindungan dari organisasi tersebut.

 

PRINSIP PERWAKILAN DIPLOMATIK

Berdasarkan Buku Hukum Internasional karangan Sri Setianingsih dan Wahyuningsih berkaitan dengan Hubungan Diplomat, terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut :

·         Prinsip Resiprositas sebagaimana berlakunya hak legasi, Dimana setiap negara berdaulat dan merdeka diakui mempunyai hak untuk mengirim utusannya untuk mewakili di Negara lain dan timbal balik berlaku pula memiliki kewajiban menerima utusan negara lain, hak dan kewajiban ini juga memberikan kekebalan dan keistimewaan kepada para diplomat, keluarganya, dan kantor perwakilan oleh negara penerima.

·         Prinsip Mutual Consent atau kesepakatan antarnegara berdaulat yang berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 dengan demikian saling pengakuan ini setelah diumumkan bersama ditindaklanjuti dengan melaksanakan kesepakatan antarnegara berdaulat tersebut dengan membuka tingkatan paling tinggi dikepalai oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh atau membuka tingkat yang lebih rendah yang dikepalai Kuasa Usaha Terap.

·         Prinsip Extrateritorial yang merupakan pengakuan antarnegara berdaulat bahwa wilayah Gedung Perwakilan Diplomatik, Tempat Kediaman para pejabat diplomatik, dan properti didalamnya termasuk dokumen dan arsip, merupakan perluasan wilayah dari negara pengirim dan diluar yuridiksi negara penerima sehingga tidak dapat dikuasai oleh hukum dan peraturan di Negara Penerima sehingga diplomat hanya dikuasai oleh hukum dari negara pengirimnya.

·         Prinsip Free Apoinment atau Prinsip Penunjukan bebas yang memberikan kewenangan bagi negara pengirim untuk menunjuk anggota staf diplomatik dengan tanpa perlu meminta persetujuan negara penerima, dikecualikan dari prinsip Free Apoinment adalah penunjukan Duta Besar yang perlu meminta persetujuan negara penerima dalam bentuk agreement atau agreation dari negara penerima.

·         Prinsip Inviolability atau tidak dapat diganggu gugat sebagaimana dinyatakan pada Pasal 29 Konvensi Wina yang mengatur bahwa para diplomat tidak dapat ditahan atau ditangkap, termasuk mencakup di dalamnya tempat tinggal, surat dan dokumen, dan hartanya tidak dapat diganggu gugat.

·         Prinsip Free Movement yang menjamin kebebasan bergerak dan melakukan perjalanan bagi anggota perwakilan di dalam wilayah negara penerima sehingga dapat melakukan tugasnya secara efektif.

·         Prinsip Free Communication dimana negara penerima memberi kemudahan dalam bentuk izin dan perlindungan dalam melakukan kebebasan berkomunikasi dengan pemerintahnya, dengan anggota perwakilan lainnya, dan dengan konsulat dari negaranya, komunikasi ini dapat menggunakan semua cara yang laya meliputi kurir diplomatik, radio transmiter berizin dari negara penerima, dan lain-lain yang tidak dapat diganggu gugat selama melaksanakan fungsi diplomatik tersebut.

·         Prinsip Reasonable and Normal yaitu dengan pembukaan hubungan diplomatik maka penindaklanjutan pembukaan tersebut adalah di bukanya perwakilan diplomatik, dalam pembukaan perwakilan bila tidak ada kesepakatan mengenai jumlah anggota staf perwakilan yang akan diakreditasikan di negara penerima maka jumlah anggota staf perwakilan tersebut harus didasarkan dengan asas kewajaran dan pantas yang memperhatikan kondisi yang terjadi di Negara Penerima dan volume pekerjaan dan kepentingan yang harus dilindungi di negara penerima, pada kondisi tertentu negara penerim dalam batas-batas yang pantas dan wajar secara non-diskriminatif dapat menolak untuk menerima dalam kategori tertentu.

Dengan mempelajari secara spesifik terkait Perwakilan Diplomatik dan perwakilan-perwakilan lainnya, maka dapat ditemukan perbedaan dari perwakilan diplomatik yang menunjukkan adanya perbedaan berkaitan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh perwakilan lainnya (Konsuler), yaitu :

 




SEMUA POSTINGAN

Tugas dan Tanggung Jawab Pustakawan Sekolah