Minggu, 21 November 2021

SISTEM HUKUM DI INDONESIA

MATERI KELAS XI

BAB 3. SISTEM HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA



 A. SISTEM HUKUM INDONESIA

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam.
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, dan sistem hukum agama.


Sistem hukum Eropa Kontinental

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem hukum umum adalah suatu sistem hukum yang digunakan di Inggris yang mana di dalamnya menganut aliran frele recht lehre yaitu di mana hukum tidak dibatasi oleh undang-undang tetapi hakim diberikan kebebasan untuk melaksanakan undang-undang atau mengabaikannya.

Sistem hukum eropa kontinental ini berkembang di Eropa daratan seperti Perancis dapat dikatan sebagai negara yang terlebih dahulu menerapkan sistem hukum tersebut. Sebenarnya sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justisianus abad ke VI sebelum masehi.

Sistem hukum Anglo-Saxon

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di IrlandiaInggrisAustraliaSelandia BaruAfrika SelatanKanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, tetapi juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

Sistem hukum adat/kebiasaan

Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu.

Sistem hukum agama

Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

1. Pengertian

Sistem Hukum dapat diartikan sebagai sebuah totalitas hukum yang terdiri atas komponen-komponen yang saling bekerjasama secara interdependen untuk mewujudkan tujuan hukum di Indoensia.
Ada beberapa tujuan hukum, yakni :

Ø  Melindungi hak asasi setiap manusia.

Ø  Menciptakan kesejahteraan, ketenteraman, kenyamanan dalam kehidupan

Ø  Menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa mengenal kasta.

Ø  Menjadi petunjuk dalam pergaulan bagi setiap anggota masyarakat.

Ø  Menjaga agar tidak terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.

Ø  Kedamaian hidup manusia berupa ketertiban ekstern antar-pribadi dan ketenangan intern pribadi; Sebagai sarana penegak dalam proses pembangunan.

Ø  Menyelenggarakan keadilan, ketertiban, kebenaran, kententeraman, serta perdamaian sebagai syarat untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.

Ø  Mewujudkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Komponen Sistem Hukum Indonesia

Komponen Sistem Hukum di Indonesia terdiri atas :

1.      Hukum / Perundang-undangan Indonesia

2.      Lembaga Pnegak Hukum Indonesia

3.      Kesadaran dan Kebudayaan Hukum Masyarakat Indonesia

 

a.       Hukum dan Perundang-undangan di Indonsia

Peraturan Perundang-undangan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan  Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai urutan dari yang tertinggi adalah: 

1)     Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945) 

UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional. 

2)     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( Tap MPR)

etetapan MPR adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR meliputi Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang masih berlaku. Sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada 7 Agustus 2003. Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua macam yaitu Ketetapan dan Keputusan. Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis. Keputusan adalah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.

3)     Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu)
UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Mekanisme UU atau Perppu adalah sebagai berikut: Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. DPR dapat menerima atau menolak Perppu tanpa melakukan perubahan. Bila disetujui oleh DPR, Perppu ditetapkan menjadi UU. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Baca juga: Plt Menkumham: Perlu Revisi 23 Undang-Undang untuk Pindah Ibu Kota.

4)     Peraturan Pemerintah ( PP)

PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. PP berfungsi untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

5)     Peraturan Presiden ( Perpres) / Instruksi Presiden
Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan

6)     Peraturan Mentri (Permen)

7)     Peraturan Daerah ( Perda) Provinsi Peraturan Kabupaten atau Kota

Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Baca juga: Revisi UU KPK Segera Disahkan Jadi Undang-Undang dalam Rapat Paripuna.
Perda Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota. Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten atau Kota di Provinsi Aceh.  Makna tata urutan Peraturan Perundang-undangan Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.
Makna tata urutan Peraturan Perundang-undangan Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.  Penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945).  Selain jenis dan hierarki tersebut, masih ada jenis Peraturan Perundang-undangan lain yang diakui keberadaannya. Peraturan Perundang-undangan lain ini juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 


b.      Lembaga Penegak Hukum Indonesia
Beberapa lembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu:

1)     Kepolisian Negara RI diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002

Fungsi Polri/ kepolisian Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”. 

Tugas pokok Polri/ kepolisian   Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai berikut:

Ø  Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

Ø  Menegakkan hukum

Ø  Memberikan perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

2)     Kejaksaan RI diatur dalam UU RI No. 16 Tahun 2004
Kejaksaan mempunyai tugas, yaitu:Melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta mengawasi jalannya penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum.

Dalam melaksanakan tugas Kejaksaan menyelenggarakan fungsi, yaitu:

a.       Perumusan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan umum yang ditetapkan presiden;

b.      Penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawabnya;

c.       Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana, penyelenggaraan intelijen yustisial di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, menegakkan kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan umum yang ditetapkan oleh presiden;

d.      Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

e.       Pemberian pertimbangan hukum kepada lembaga, instansi pemerintah di pusat dan di daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dalam menyusun peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat; dan

f.        Penyelenggaraan koordinasi, bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan yang baik ke dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden.

3)     Hakim sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU RI No. 4 Tahun 2004
Tugas Pokok

Menyelenggarakan perkaura mulai dari menerima, memeriksa sampai dengan mengadili perkara yang masuk di Pengadilan.

Fungsi

Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman. Tugas utama Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya.Dalam perkara perdata, Hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan dan rintangan agar terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

4)     Advokat dalam penegakan hukum diatur dalam UU RI No. 18 Tahun 2003

 Advokat sebagai penegak hukum menjalankan kedudukan, peran dan fungsinya secara mandiri untuk memberikan memberikan konsultansi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana) dalam proses peradilan pidana.Namun, selama ini terdapat selama ini, masih adanya sebagian masyarakat yang mempunyai persepsi negatif terhadap Advokat yang menjalankan kedudukan, peran dan fungsinya dalam proses peradilan pidana. Masyarakat menganggap bahwa Advokat hanya membela untuk membebaskan tersangka atau terdakwa dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Tak jarang muncul cibiran atau tudingan bahwa: “Sudah jelas-jelas terdakwa itu bersalah, kok, masih juga dibela oleh Advokat? Apakah Advokat kerjanya cuma membela orang-orang yang bersalah agar menjadi tidak bersalah.

 

5)     Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur dalam UU RI No. 30 Tahun 2002

Tugas KPK
Dikutip dari Bab II Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 terdapat lima tugas utama yang dibebankan pada lembaga KPK. Berikut tugasnya:·         Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

·         Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

·         Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

·         Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi

·         Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara

Wewenang KPK
Masih mengutip dari Bab yang sama, pada Pasal 7 dijelaskan tentang wewenang yang bisa dilakukan oleh lembaga KPK di antaranya:

·         Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

·         Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

·         Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait

·         Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

·         Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi


c.       Kesadaran dan Kebudayaan Hukum Masyarakat

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum dan
ketaatan hukum warganya. Semakin tinggi kesadaran hukum dan ketaatan hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Faktor kesadaran hukum dan ketaatan hukum ini mempunyai peran penting dalam perkembangan hukum, artinya semakin lemah tingkat kesadaran hukum masyarakat, semakin lemah pula ketatan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor ketaatan hukum. Kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya akan menciptakan suasana penegakan hukum yang baik, yang dapat memberikan rasa keadilan, menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat dan memberikan kemanfaatan bagi anggota masyarakat. 

Indikator kesadaran hukum merupakan petunjuk-petunjuk yang konkrit tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Dengan adanya indikator-indikator tersebut, seseorang yang menaruh perhatian pada kesadaran hukum akan dapat mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan kesadaran hukum.15 Menurut Soekanto, ada empat indikator dari kesadaran hukum ini, yaitu:

a)     Pengetahuan Hukum

Artinya seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku hukum tertentu diatur oleh hukum. Maksudnya bahwa hukum di sini adalah hukum tertulis atau hukum yang tidak tertulis. Pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.16 Menurut Otje Salman pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum.

b)     Pemahaman Hukum
Seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya. Pengetahuan hukum dan pemahaman hukum, secara teoritis bukan merupakan dua indikator saling bergantung. Artinya seseorang dapat berperilaku tersebut, akan tetapi mungkin tidak menyadari apakah perilaku tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan norma hukum tertentu. Di lain pihak mungkin ada orang yang sadar bahwa suatu kaidah hukum mengatur perilaku tertentu, akan tetapi dia tidak mengetahui mengenai isi hukum tersebut atau hanya mempunyai pengetahuan sedikit tentang isinya.

c)      Sikap Hukum

Seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Salah satu tugas hukum yang penting adalah mengatur kepentingan- kepentingan warga masyarakat tersebut, lazimnya bersumber pada nilai-nilai yang berlaku yaitu anggapan tentang apa yang baik dan apa yang harus dihindari. Ketaatan masyarakat terhadap hukum dengan demikian sedikit banyak tergantung pada apakah kepentingan- kepentingan warga masyarakat dalam bidang-bidang tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-ketentuan hukum tersebut.

d)     Perilaku Hukum

         Artinya di mana seseorang berperilaku sesuai dengan hukum. Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya tingkat kesadaran yang tinggi. Buktinya adalah bahwa yang bersangkutan patuh atau taat pada hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan dapat dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang terwujud dalam pola perilaku manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal itu merupakan suatu petunjuk penting bahwa hukum tersebut adalah efektif (dalam arti mencapai tujuan).


Jumat, 19 November 2021

B. PERIODISASI DAN DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA

MATERI KELAS XI
𝗕𝗔𝗕. 𝟮. 𝗦𝗜𝗦𝗧𝗘𝗠 𝗗𝗔𝗡 𝗗𝗜𝗡𝗔𝗠𝗜𝗞𝗔 𝗗𝗘𝗠𝗢𝗞𝗥𝗔𝗦𝗜 𝗗𝗜 𝗜𝗡𝗗𝗢𝗡𝗘𝗦𝗜𝗔


B. PERIODISASI DAN DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA

1. Demokrasi Indonesia masa revolusi kemerdekaan (1945-1949)
Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, memperlihatkan besarnya komitmen para pendiri bangsa untuk mewujudkan demokrasi politik di Indonesia.
Mohammad Yamin memasukkan asas peri kerakyatan dalam usulan dasar negara Indonesia merdeka. Soekarno memasukkan asas mufakat atau demokrasi dalam usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka yang kemudian diberi nama Pancasila.

2. Periode masa revolusi kemerdekaan 1945-1949
Keyakinan besar para pendiri bangsa tersebut timbul karena dipengaruhi latar belakang pendidikan.
Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen. Tetapi juga merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan.
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan (1945-1949) ini, pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.
Sedangkan elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud. Karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Karena pemerintah harus memusatkan seluruh energinya bersama-sama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap hidup.
Partai-partai politik tumbuh dan berkembang cepat.
Fungsi paling utama partai politik adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara serta semangat anti penjajahan.
Karena keadaan yang tidak mengizinkan, Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan sekalipun hal itu telah menjadi salah satu agenda politik utama.
Tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini.
Tetapi pada periode ini telah diletakkan hal-hal mendasar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia untuk masa selanjutnya, yaitu:
Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh.
Para pembentuk negara sejak semula punya komitmen besar terhadap demokrasi. Begitu Indonesia menyatakan kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang dianggap dewasa punya hak politik sama, tanpa diskriminasi ras, agama, suku dan kedaerahan.
Kedua, kekuasaan Presiden dibatasi. Ppresiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi diktator, kekuasaannya dibatasi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk menggantikan parlemen.
Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden maka dimungkinkan terbentuk sejumlah partai politik. Pembentukan sejumlah partai politik ini kemudian menjadi peletak dasar sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik Indonesia.

3. Periode Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959)

Sejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara. Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.
Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan. Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri. Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut: Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan. Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas. Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.
Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi. Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956) Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis. Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956
Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya. Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959) Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.
Akhir Demokrasi Parlementer Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara. Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

4. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Periode 1959 sampai 1966, Periode Demokrasi Terpimpin dan Penyimpangannya
Pada periode 1959 sampai 1966 dikenal sebagai periode Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Periode ini berlangsung pada 5 Juli 1959 - 11 Maret 1966.
Latar belakangan dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
Dari babak keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
Dari babak perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Dari babak politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno supaya Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan babak konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, disediakan pemungutan suara yang didampingi oleh seluruh babak konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah babak konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 babak, seperti yang sudah diputuskan pada pasal 137 UUDS 1950.
Periode Demokrasi Terpimpin dimulai dengan lahirnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit Presiden dibuat setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugasnya untuk membentuk undang-undang dasar tetap sehingga tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas VIII SMP/MTs oleh Aim Abdulkarim.
Dekrit Presiden memuat ketentuan pokok sebagai berikut:
1. Menetapkan pembubaran konstituante
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu singkat.
Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 disambut baik oleh rakyat dan didukung oleh TNI AD. Dekrit Presiden juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan DPR yang bersedia bekerja terus dalam rangka menegakkan UUD 1945. Pada periode ini, pemerintah Indonesia menganut sistem Demokrasi terpimpin.
Penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 sampai 1966 yaitu:
1. Menafsirkan Pancasila terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh
Periode Demokrasi Terpimpin didasarkan pada penafsiran dari sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tetapi, Presiden Soekarno saat itu menafsikan terpimpin dengan arti "pimpinan terletak di tangan pemimpin besar revolusi."
2. Pengangkatan presiden seumur hidup
UUD 1945 mengatur presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun. Tetapi, Ketetapan MPRS No. III/1965 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi oleh A. Ubaedillah.
3. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955
Kebijakan ini membuat hilangnya pengawasan dari lembaga legislatif terhadap eksekutif.
4. Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
5. Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin menjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden
Dalam pelaksanaan periode Demokrasi Terpimpin cenderung terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden atau Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini menjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada pemimpin, serta hilangnya kontrol sosial.
6. Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang cenderung memihak komunis
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi kecenderungan pemihakan pada Blok Timur atau RRC.
7. Manipol USDEK yang dibuat Presiden menjadi GBHN
Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1960. USDEK dibuat oleh Presiden Soekarno, sedangkan GBHN harusnya dibuat oleh MPR.
Penyalahgunaan makna demokrasi di masa lalu salah satunya yaitu "Demokrasi Terpimpin" di masa Orde Lama pada 1959 sampai 1966 yang melahirkan kepemimpinan absolut. Setelah periode tersebut, "Demokrasi Pancasila" di era Orde Baru juga mematikan partisipasi rakyat dan menjadikan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.
Kedua penyalahgunaan makna demokrasi di atas memunculkan keinginan publik di masa Reformasi untuk tidak melabeli demokrasi dengan atribut apapun.

5. Periode Demokrasi orde baru Pancasila (1966-1998)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru aci dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Berakhirnya Orde Lama (Orla) pada 1966 sebagai pertanda dimulainya masa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Pada masa pemerintahan Orba dipimpin oleh Suharto sebagai presiden Indonesia menggantikan Sukarno.
Masa Orba hadir maka arah pemahaman terhadap Pancasila mulai diperbaiki. Karena masa pada Orla terjadi banyak penyimpangan.
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019) karya Edi Rohani, pengalaman instabilitas politik dan kemerosotan ekonomi menjadi dalih bagi Suharto untuk memulihkan pasca gejolak politik menggunakan Pancasila.
Ia menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Suharto menggunakan istilah Demokrasi Pancasila untuk memperoleh kesan kuat, bahwa dirinya adalah seorang yang memegang teguh Pancasila.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 , Presiden Suharto mengatakan, "Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila."
Ia juga mengatakan bahwa Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan.
Masa Orba merupakan masa pemerintahan yang terlama. Di mana berkuasa hingga tahun 1998 sebelum digantikan masa reformasi.
Pada masa tersebut juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang stabil. Di mana, stabilitas keamanan dan pembangunan serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila.
Penyimpangan Pancasila pada masa Orde Baru
Meski stabilitas politik tercapai dan pembangunan ekonomi dapat teraih. Namun kebebasan dan hak-hak warga negara diatur dalam konstitutisi.

Penyimpangan-penyimpangan pun terjadi tidak dapat diabaikan dan merugikan banyak pihak.
Berikut beberapa bentuk-bentuk penyimpangan Pancasila yang dilakukan pada masa Orde Baru:
1. Pancasila sebagai dasar negara malah diredusir, disalahartikan dan disalahgunakan oleh Suharto sebagai simbol kekuasaan.
2. Pancasila dijadikan alat untuk menguasai rakyat. Sehingga pemerintah Orde Baru dapat melegitimasi kelanggengan masa jabatannya.
3. Pancasila sebagai sumber nilai dibuat seakan kabur (blurred) oleh banyaknya praktik penyimpangan dan segala bentuk kebijakan yang berlindung di balik fungsi pokok Pansasila. Sehingga siapapun yang menentang kebijakan tersebut dianggap telah menentang Pancasila.
4. Penyimpangan terhadap asas kekeluargaan yang terkandung di dalam kelima Pancasila. Di mana Suharto hanya mempercayakan orang-orang terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga menjadi ajang praktik-praktik korupsi. Baca juga: Penerapan Pancasila sebagai Dasar Negara di Awal Kemerdekaan
5. Suharto memimpin negara dalam bentuk keotoritarian. Padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat. 6. Fungsi Pancasila digunakan sebagai alat meleburnya heterogenitias, sehingga membuat kelompok-kelompok minoritas tersingkir dan timbulah masalah SARA.
7. Seluruh organisasi harus menerapkan Pancasila sebagai asasnya.
8. Suharto melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah. Karena kritikan menganggu ketidakstabilan negara. Sehingga sering dilakukan kekuatan militer bagi siapapun yang mengkritik pemerintah.
9. Diterapkannya demokrasi sentralistik yaitu demokrasi yang berpusat pada pemerintah. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipegang oleh presiden. Selama Orba dalam kenyataannya Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi politik sehingga melahirkan gelombang perlawanan masyarakat.
Timbul berbagai gerakan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya reformasi disegala bidang. Puncak dari perlawanan tersebut terjadi pada 1998. Pada tahun tersebut Suharto mengundurkan diri sebagai presiden dan munculah masa reformasi.

6. Periode Demokrasi Reformasi (1998 - sekarang)
Demokrasi Indonesia periode reformasi (1998-sekarang) Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Tetapi penyimpangan-penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru membawa Indonesia pada krisis multidimensi, diawali krisis moneter yang tidak kunjung reda. Krisis moneter membawa akibat terjadinya krisis politik, di mana tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah begitu kecil.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto terperosok ke dalam kondisi yang diliputi berbagai tekanan politik baik dari luar maupun dalam negeri.
Dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, secara terbuka meminta Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Dari dalam negeri, timbul gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari jabatannya.
Lengsernya Soeharto
Tekanan massa mencapai puncaknya ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR. Akibatnya proses politik nasional praktis lumpuh. Soeharto ingin menyelamatkan kursi kepresidenan dengan menawarkan berbagai langkah. Seperti perombakan (reshuffle) kabinet dan membentuk Dewan Reformasi. Tetapi pada akhirnya Presiden Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali mundur dari jabatannya.
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka menyatakan berhenti sebagai Presiden. Dengan menggunakan UUD 1945 pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden Habibie disumpah sebagai penggantinya di hadapan Mahkamah Agung. Karena DPR tidak dapat berfungsi akibat mahasiswa mengambil alih gedung DPR.
Kepemimpinan Indonesia segera beralih dari Soeharto ke BJ Habibie. Hal ini merupakan jalan baru demi terbukanya proses demokratisasi di Indonesia. Kendati diliputi kontroversi tentang status hukumnya, pemerintahan Presiden BJ Habibie mampu bertahan selama satu tahun kepeminpinan.

SEMUA POSTINGAN

Tugas dan Tanggung Jawab Pustakawan Sekolah