MATERI KELAS XI
๐๐๐. ๐ฎ. ๐ฆ๐๐ฆ๐ง๐๐ ๐๐๐ก ๐๐๐ก๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐ข๐๐ฅ๐๐ฆ๐ ๐๐ ๐๐ก๐๐ข๐ก๐๐ฆ๐๐
B. PERIODISASI DAN DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA
1. Demokrasi Indonesia masa revolusi kemerdekaan (1945-1949)
Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, memperlihatkan besarnya komitmen para pendiri bangsa untuk mewujudkan demokrasi politik di Indonesia.
Mohammad Yamin memasukkan asas peri kerakyatan dalam usulan dasar negara Indonesia merdeka. Soekarno memasukkan asas mufakat atau demokrasi dalam usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka yang kemudian diberi nama Pancasila.
2. Periode masa revolusi kemerdekaan 1945-1949
Keyakinan besar para pendiri bangsa tersebut timbul karena dipengaruhi latar belakang pendidikan.
Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen. Tetapi juga merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan.
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan (1945-1949) ini, pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.
Sedangkan elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud. Karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Karena pemerintah harus memusatkan seluruh energinya bersama-sama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap hidup.
Partai-partai politik tumbuh dan berkembang cepat.
Fungsi paling utama partai politik adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan dengan menanamkan kesadaran untuk bernegara serta semangat anti penjajahan.
Karena keadaan yang tidak mengizinkan, Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan sekalipun hal itu telah menjadi salah satu agenda politik utama.
Tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini.
Tetapi pada periode ini telah diletakkan hal-hal mendasar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia untuk masa selanjutnya, yaitu:
Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh.
Para pembentuk negara sejak semula punya komitmen besar terhadap demokrasi. Begitu Indonesia menyatakan kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda, semua warga negara yang dianggap dewasa punya hak politik sama, tanpa diskriminasi ras, agama, suku dan kedaerahan.
Kedua, kekuasaan Presiden dibatasi. Ppresiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi diktator, kekuasaannya dibatasi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk menggantikan parlemen.
Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden maka dimungkinkan terbentuk sejumlah partai politik. Pembentukan sejumlah partai politik ini kemudian menjadi peletak dasar sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik Indonesia.
3. Periode Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959)
Sejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara. Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.
Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan. Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri. Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut: Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan. Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas. Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.
Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi. Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956) Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis. Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956
Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya. Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959) Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.
Akhir Demokrasi Parlementer Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara. Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.
4. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Periode 1959 sampai 1966, Periode Demokrasi Terpimpin dan Penyimpangannya
Pada periode 1959 sampai 1966 dikenal sebagai periode Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Periode ini berlangsung pada 5 Juli 1959 - 11 Maret 1966.
Latar belakangan dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
Dari babak keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
Dari babak perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Dari babak politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno supaya Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan babak konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, disediakan pemungutan suara yang didampingi oleh seluruh babak konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah babak konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 babak, seperti yang sudah diputuskan pada pasal 137 UUDS 1950.
Periode Demokrasi Terpimpin dimulai dengan lahirnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit Presiden dibuat setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugasnya untuk membentuk undang-undang dasar tetap sehingga tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas VIII SMP/MTs oleh Aim Abdulkarim.
Dekrit Presiden memuat ketentuan pokok sebagai berikut:
1. Menetapkan pembubaran konstituante
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu singkat.
Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 disambut baik oleh rakyat dan didukung oleh TNI AD. Dekrit Presiden juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan DPR yang bersedia bekerja terus dalam rangka menegakkan UUD 1945. Pada periode ini, pemerintah Indonesia menganut sistem Demokrasi terpimpin.
Penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 sampai 1966 yaitu:
1. Menafsirkan Pancasila terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh
Periode Demokrasi Terpimpin didasarkan pada penafsiran dari sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tetapi, Presiden Soekarno saat itu menafsikan terpimpin dengan arti "pimpinan terletak di tangan pemimpin besar revolusi."
2. Pengangkatan presiden seumur hidup
UUD 1945 mengatur presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun. Tetapi, Ketetapan MPRS No. III/1965 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi oleh A. Ubaedillah.
3. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955
Kebijakan ini membuat hilangnya pengawasan dari lembaga legislatif terhadap eksekutif.
4. Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
5. Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin menjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden
Dalam pelaksanaan periode Demokrasi Terpimpin cenderung terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden atau Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini menjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada pemimpin, serta hilangnya kontrol sosial.
6. Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang cenderung memihak komunis
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi kecenderungan pemihakan pada Blok Timur atau RRC.
7. Manipol USDEK yang dibuat Presiden menjadi GBHN
Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1960. USDEK dibuat oleh Presiden Soekarno, sedangkan GBHN harusnya dibuat oleh MPR.
Penyalahgunaan makna demokrasi di masa lalu salah satunya yaitu "Demokrasi Terpimpin" di masa Orde Lama pada 1959 sampai 1966 yang melahirkan kepemimpinan absolut. Setelah periode tersebut, "Demokrasi Pancasila" di era Orde Baru juga mematikan partisipasi rakyat dan menjadikan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.
Kedua penyalahgunaan makna demokrasi di atas memunculkan keinginan publik di masa Reformasi untuk tidak melabeli demokrasi dengan atribut apapun.
5. Periode Demokrasi orde baru Pancasila (1966-1998)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru ada dengan semangat "koreksi total" atas kelainan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru aci dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Berakhirnya Orde Lama (Orla) pada 1966 sebagai pertanda dimulainya masa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Pada masa pemerintahan Orba dipimpin oleh Suharto sebagai presiden Indonesia menggantikan Sukarno.
Masa Orba hadir maka arah pemahaman terhadap Pancasila mulai diperbaiki. Karena masa pada Orla terjadi banyak penyimpangan.
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019) karya Edi Rohani, pengalaman instabilitas politik dan kemerosotan ekonomi menjadi dalih bagi Suharto untuk memulihkan pasca gejolak politik menggunakan Pancasila.
Ia menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Suharto menggunakan istilah Demokrasi Pancasila untuk memperoleh kesan kuat, bahwa dirinya adalah seorang yang memegang teguh Pancasila.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 , Presiden Suharto mengatakan, "Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila."
Ia juga mengatakan bahwa Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan.
Masa Orba merupakan masa pemerintahan yang terlama. Di mana berkuasa hingga tahun 1998 sebelum digantikan masa reformasi.
Pada masa tersebut juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang stabil. Di mana, stabilitas keamanan dan pembangunan serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila.
Penyimpangan Pancasila pada masa Orde Baru
Meski stabilitas politik tercapai dan pembangunan ekonomi dapat teraih. Namun kebebasan dan hak-hak warga negara diatur dalam konstitutisi.
Penyimpangan-penyimpangan pun terjadi tidak dapat diabaikan dan merugikan banyak pihak.
Berikut beberapa bentuk-bentuk penyimpangan Pancasila yang dilakukan pada masa Orde Baru:
1. Pancasila sebagai dasar negara malah diredusir, disalahartikan dan disalahgunakan oleh Suharto sebagai simbol kekuasaan.
2. Pancasila dijadikan alat untuk menguasai rakyat. Sehingga pemerintah Orde Baru dapat melegitimasi kelanggengan masa jabatannya.
3. Pancasila sebagai sumber nilai dibuat seakan kabur (blurred) oleh banyaknya praktik penyimpangan dan segala bentuk kebijakan yang berlindung di balik fungsi pokok Pansasila. Sehingga siapapun yang menentang kebijakan tersebut dianggap telah menentang Pancasila.
4. Penyimpangan terhadap asas kekeluargaan yang terkandung di dalam kelima Pancasila. Di mana Suharto hanya mempercayakan orang-orang terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga menjadi ajang praktik-praktik korupsi. Baca juga: Penerapan Pancasila sebagai Dasar Negara di Awal Kemerdekaan
5. Suharto memimpin negara dalam bentuk keotoritarian. Padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat. 6. Fungsi Pancasila digunakan sebagai alat meleburnya heterogenitias, sehingga membuat kelompok-kelompok minoritas tersingkir dan timbulah masalah SARA.
7. Seluruh organisasi harus menerapkan Pancasila sebagai asasnya.
8. Suharto melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah. Karena kritikan menganggu ketidakstabilan negara. Sehingga sering dilakukan kekuatan militer bagi siapapun yang mengkritik pemerintah.
9. Diterapkannya demokrasi sentralistik yaitu demokrasi yang berpusat pada pemerintah. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dipegang oleh presiden. Selama Orba dalam kenyataannya Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi politik sehingga melahirkan gelombang perlawanan masyarakat.
Timbul berbagai gerakan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya reformasi disegala bidang. Puncak dari perlawanan tersebut terjadi pada 1998. Pada tahun tersebut Suharto mengundurkan diri sebagai presiden dan munculah masa reformasi.
6. Periode Demokrasi Reformasi (1998 - sekarang)
Demokrasi Indonesia periode reformasi (1998-sekarang) Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Tetapi penyimpangan-penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru membawa Indonesia pada krisis multidimensi, diawali krisis moneter yang tidak kunjung reda. Krisis moneter membawa akibat terjadinya krisis politik, di mana tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah begitu kecil.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto terperosok ke dalam kondisi yang diliputi berbagai tekanan politik baik dari luar maupun dalam negeri.
Dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, secara terbuka meminta Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Dari dalam negeri, timbul gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari jabatannya.
Lengsernya Soeharto
Tekanan massa mencapai puncaknya ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR. Akibatnya proses politik nasional praktis lumpuh. Soeharto ingin menyelamatkan kursi kepresidenan dengan menawarkan berbagai langkah. Seperti perombakan (reshuffle) kabinet dan membentuk Dewan Reformasi. Tetapi pada akhirnya Presiden Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali mundur dari jabatannya.
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka menyatakan berhenti sebagai Presiden. Dengan menggunakan UUD 1945 pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden Habibie disumpah sebagai penggantinya di hadapan Mahkamah Agung. Karena DPR tidak dapat berfungsi akibat mahasiswa mengambil alih gedung DPR.
Kepemimpinan Indonesia segera beralih dari Soeharto ke BJ Habibie. Hal ini merupakan jalan baru demi terbukanya proses demokratisasi di Indonesia. Kendati diliputi kontroversi tentang status hukumnya, pemerintahan Presiden BJ Habibie mampu bertahan selama satu tahun kepeminpinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar